UlasBuku#1: Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
“akhirnya semua akan tiba, pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui…”
Judul Buku : Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Penyunting : Ismid Hadad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Natsir dan Daniel Dhakidae
Penerbit : LP3ES
Jumlah Halaman : xxx + 385 hlm.
Tak dapat dipungkiri mahasiswa mejadi sorot utama dalam hal mengembangkan dan mengharumkan nama bangsa. Seperti sosok Soe Hok Gie yang berani dalam membuat kritikan terhadap politik, budaya dan ekonomi bangsa Indonesia pada zamannya. Soe Hok Gie dikenal sebagai mahasiswa sastra sekaligus pecinta alam Universitas Indonesia yang memiliki keberanian dalam menyuarakan pendapatnya dalam bentuk tulisan. tak jarang, menurut buku ini Soe Hok Gie mendapatkan kecaman-kecaman nyata atas kritikan yang menuai kontra dari berbagai pihak. Walau begitu, sosok Gie dikenal dan disukai oleh masyarakat umum.
Saat Gie meninggal pada 16 Desember 1965 di Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun,kakak kandungnya, Arief Budiman, memesan peti mati untuk Gie, pembuat peti mati pun bertanya untuk siapa peti mati ini dibuat dan ia bersedih hingga menangis karena mengetahui bahwa Gie telah tiada.
“Soe Hok Gie yang suka menulis di koran? Dia orang yang berani. Sayang dia meninggal” Ujarnya (hlm xxiii)
Buku ini dibagi kedalam delapan bagian, Bagian I Soe Hok Gie : Sang Demonstran, Bagian II Masa Kecil, Bagian III Di Ambang Remaja, Bagian IV Lahirnya Seorang Aktivis, Bagian V Catatan Seorang Demonstran, Bagian VI Perjalanan Ke Amerika, Bagian VII Politik, Pesta dan Cinta dan Bagian VIII Mencari makna.
Pada hakikatnya, buku ini bercerita tentang bagaimana Soe Hok Gie seorang keturunan China yang menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa, gemar mendaki gunung dan menulis, buku ini disajikan dalam bentuk buku harian, sehingga sebagai pembaca saya bisa membayangkan persis konflik dan perasaan seperti apa yang menghampiri Gie dalam menjalani kehidupannya. Soe Hok Gie merupakan karakter pemikir yang berani dalam mengungkapkan pendapat-pendapatnya mengenai kesenjangan yang ada di negeri ini seperti kebijakan pemerintah, kondisi rakyat kecil hingga bagaimana keberanian mahasiswa dalam bersikap dan menanggapi masalah. Namun, buku ini juga menyajikan kehidupan cinta, pertemanan dan hobi dari Soe Hok Gie. Sehingga, lagi-lagi saya disuguhkan dengan bacaan yang realistis sekaligus menarik sebagai media penambah wawasan.
Selain disajikan dalam bentuk buku harian, buku ini juga menyajikan puisi-puisi karya Gie yang beliau tulis sesuai dengan situasi yang dialaminya. Seperti puisi satu ini yang ditulis Gie pada tanggal 17 Desember 1961
Pada suatu saat di mana kita berhenti.
Memandang ke belakang.
Dan memberi salam.
(Mesra tapi sayu).
Masa lampau adalah seperti mimpi.
Terlupa dan berat menarik ke belakang.
Terkadang kecewa.
Yang hilang, semua hilang.
Seperti usus yang lenyap kelemasan.
Dan kecewa seperti Asvius yang patah hati.
Kemasakan, dan juga kenaifan.
Keberanian dan penghianatan.
Apakah kita bisa bicara tentang nilai-nilai?
Sebelum dewasa? (hlm.92)
Setiap bagian buku ini memiliki poin-poin penting dan menarik, sehingga kita dapat merasakan perkembangan Indonesia dari masa ke masa sampai pada akhirnya Gie meninggal. Cerita mengenai pendakian Gie ke beberapa gunung dan aktivitas keorganisasiannya juga menjadi bagian yang menarik untuk dibaca karena membahas mengenai sikap toleran, penyelesaian masalah dan konflik-konflik lainnya.
Membaca buku ini saya sadar, terkadang apa yang kita lakukan sekarang mungkin akan berdampak besar di kemudian hari, entah untuk diri sendiri, maupun untuk orang-orang di sekitar kita. Sehingga, seharusnya dengan cara yang sadar, diri ini sebaiknya memberikan tapak tilas yang baik. Selain nama yang dikenang baik, do’a dari orang-orang pun pasti akan mengiringi dengan baik.
Selamat Membaca.