Sebelum Hujan Deras

Wiwit Astari
1 min readOct 30, 2021

--

Aku ingin menghirup segar wewangian, terbangun di penghujung malam dan mengulur, bercengkrama, sampai jatuh tak bernafas. Aku ingin tahu jawaban atas mengapa aku harus percaya pada wajah-wajah? Setelah berhenti di sini, aku harap tak berputar juga tak perlu melangkah kemana-mana lagi.

Aku bisa membuang ingatan tentang kuda-kuda yang ku pertahankan begitu lama dengan matahari terbaik dan pasir-pasir yang menggebu seakan berbisik. Aku bisa membuang jawaban-jawaban atas pertanyaan hebat yang memenuhi kepalaku, bahkan berbagi lagu terbaik yang ternyata salah aku beri.

Aku ingat saat tak bisa melawan diriku sendiri, aku bertanya “Apakah aku boleh berdoa yang tidak baik?”. Sungguh, aku tak ingin membuang hidupku, jadi kuurungkan niat dengan berdoa “Semoga kita berbahagia”.

Aku terbangun setelah tersungkur lama, merasa waktu bisa ku bunuh tetapi tidak dengan tugasku. Sialan. Aku tetap mengerjakan apa yang harus ku kerjakan dan tetap memaki-maki dalam hati “Aku meminta libur, untuk patah hati”. Tak lama, suara hujan tanpa basa-basi mampir, aku berlari ke atas balkon dan membiarkan diriku larut sampai tak bersisa. Aku ingin hidupku dibebaskan kembali dan menari-nari lagi.

Aku akan tetap berbahagia dengan kesempatan-kesempatan yang akan muncul kemudian. Tapi tidak di hari ini atau besok. Aku juga seperti mendapat dukungan, karena di rumah tak ada siapa pun, bahkan ku lihat kucingku sedang berteduh di atap rumah tetangga. Mereka sepertinya bersekongkol membiarkanku sendiri.

Aku tak menyangka akan merasakan ini lagi, sama persis seperti tahun sebelumnya. Tetapi bukankah walaupun aku kuat atau pernah melewati ini, bukan berarti aku berhak atau pantas mendapatkan hal seperti ini lagi, ya kan?

--

--