Disebut Doa

Wiwit Astari
2 min readJul 5, 2021

--

Penuturan singkat tentang hidup yang ‘gini-gini aja’

Ketika ku mulai menulis ini, aku sedang bingung melihat tulisan-tulisan hilang dan bergidik ngeri mengingat apa yang telah ku usahakan mungkin bisa hilang begitu saja. Detik pertama, seperti yang kulakukan dari dulu, panik berkepanjangan dan mulai mengirim pesan kepada temanku. Detik selanjutnya, ku coba mengingat salah-salahku dan mengutuk mengapa aku tidak menjadi manusia yang baik. Detik selanjutnya lagi, aku mulai bergumam sendiri, tersenyum lirih karena pikiranku ternyata luas sekali, kemana-mana, mempersulit diri. Istigfar tiga kali ku lantunkan dan aku mulai meringkuk.

Aku terbangun dan alarm menunjukan pukul 05.35, agak telat untuk memulai shalat shubuh , asam lambungku naik karena aku tak berhasil tidur sampai adzan pertama pukul 03.00 pagi berkumandang. Setelah melaksanakan shalat, aku memutuskan untuk tidur lagi. Aku terbangun lagi karena teriakan-teriakan setiap harinya, mulai menyapu, memberi makan kucing dan bergegas mandi.

Jika saja ada yang tahu dan aku bisa berbicara, kepalaku ingin pecah setiap hari dan perutku mungkin sudah berteriak meminta tidur yang cukup. Tapi tak pernah ku turuti. Kadang, saat teriakan-teriakan muncul, ku berharap tidak terbangun dan melanjutkan tidur. Setiap harinya, aku berharap bisa bernafas dan punya kesempatan atau cara untuk meninggalkan semuanya, ku berpikir akan ku jaminkan apa saja untuk hidup yang ku inginkan. Oh tentu saja, aku ingin hidup dengan tulisan-tulisan, buku-buku, kucing yang cukup satu dan taman pangan milik sendiri di suatu kota yang tak pernah absen ku kunjungi setiap tahunnya.

Aku begitu suka kabar bahagia dan tak pernah ku dengki akan pencapaian orang karena ku tahu mimpiku sudah ada pada jalurnya dan aku tak butuh hingar bingar nantinya. Jika bisa, ku ingin hidup sendiri bersama kucing. Belum ada yang mematahkan itu sampai saat ini, yang datang yang pergi hanya sebagai siklus tiada akhir yang menuntunku untuk tetap fokus pada diriku yang malang tapi berbahagia ini.

Lalu akhirnya ku tersadar, hidup bukan hanya tentang diri sendiri. Tapi juga tentang yang sudah menemani dari lahir sampai sekarang. Katanya “ seburuk apa pun keluargamu, mereka lah yang akan menemanimu sampai akhir”. Oh bukan, aku bukan anak yang bermasalah dengan keluarga, hanya saja aku terlalu sendiri sejak awal dan pemendam hingga rasanya sulit untuk tidak nurut dan setelah umur ini, berontak pun tak mampu ku lakukan. Mereka adalah lingkungan yang baik tapi mungkin lupa aku pun punya masa memikirkan diriku sendiri. Kadang merasa berdosa, kadang juga tersiksa.

Aku berdoa agar hidupku lurus dan beraturan, bersemangat apalagi perihal ibadah, membahagiakan yang harus dibahagiakan dan juga menerima yang datang yang memiliki niat baik untuk hidupku kelak. Perihal hati, sudah ku terima kehancurannya dan ku pasrahkan untuk sembuh.

Aku akan terus berjalan sampai masaku nanti tidak bersisa dan semoga kembali dengan keadaan sebaik-baiknya. Setelah penuturan ini, aku hanya berdoa keras agar ku bisa secepatnya tinggal di kota impianku dengan kucing dan buku-buku yang semerbak. Aamiin.

--

--

Wiwit Astari
Wiwit Astari

Written by Wiwit Astari

Suka tidur, baca buku, dan ya udah

No responses yet